Uraian: Metafora adalah (Lengkap)

Metafora adalah - Sedang mencari informasi mengenai "Metafora adalah?", Hore! Anda sudah berada di tempat yang tepat, yup kami ucapkan selamat datang di situs Uraian Lengkap. Sebuah situs yang mengupas tentang banyak hal, mulai dari materi pelajaran, tips dan trik, tutorial, pengertian, pengetahuan umum dan banyak lagi lainnya.

Keberadaan internet membuat siapapun bisa dengan mudah mengakses setiap informasi yang ada di dunia, baik itu yang berupa video, atau pun tulisan seperti yang tertuang dalam situs ini. Baiklah, sepertinya cukup basa-basinya, biar gak kelamaan yuk langsung kita simak saja pembahasan atau uraian lengkap terkait Metafora adalah dibawah ini.

Penjelasan Lengkap Metafora adalah

Selamat datang di Pakdosen.co.id, web digital berbagi ilmu pengetahuan. Kali ini PakDosen akan membahas tentang Metafora? Mungkin anda pernah mendengar kata Metafora? Disini PakDosen membahas secara rinci tentang pengertian, teori, komponen dan jenis. Simak Penjelasan berikut secara seksama, jangan sampai ketinggalan.

Metafora

Pengertian Metafora

Secara etimologis, terminologi metafora dibentuk melalui perpaduan dua kata Yunani—“meta” (diatas) dan “pherein” (mengalihkan/memindahkan). Dalam bahasa Yunani Modern, kata metafora juga bermakna “transfer” atau “transpor”. Dengan demikian, metafora adalah pengalihan citra, makna, atau kualitas sebuah ungkapan kepada suatu ungkapan lain (Classe: 2000: 941).


Pengalihan tersebut dilakukan dengan cara merujuk suatu konsep kepada suatu konsep lain untuk mengisyaratkan kesamaan, analogi atau hubungan kedua konsep tersebut. Sebagai contoh, dalam metafora “Pelanggan adalah raja,” berbagai citra atau kualitas seorang raja, seperti kekuasaan, pengaruh, posisi, dan sebagainya dipindahkan kepada pelanggan. Ungkapan Shakespeare yang sangat terkenal “All the world’s a stage” adalah contoh metafora yang sering dikutip. Metafora ini mengindikasikan bahwa “the world” dan “stage” adalah dua hal yang analog.


Karena metafora merupakan sebuah topik kajian utama berbagai disiplin ilmu, terutama linguistik, teori kesusastraan, filsafat, dan psikologi, konsep-konsep tentang metafora, termasuk definisinya, sangat beragam (Picken: 1988: 108). Hingga saat ini, terdapat paling tidak empat teori metafora yang mengungkapkan metafora dengan berbagai sudut pandang. Berikut ini adalah uraian singkat tentang keempat teori tersebut, yang secara khusus ditinjau dari perspektif penerjemahan.


Teori Metafora

Berikut ini terdapat beberapa teori metafora, yakni sebagai berikut:


  1. Teori Perbandingan (Comparison Theory)

Teori perbandingan, yang identik dengan definisi etimologis di atas, digagas oleh Aristoteles pada abad keempat masehi.  Menurut Aristoteles, metafora merupakan sarana berpikir yang sangat efektif untuk memahami suatu konsep abstrak, yang dilakukan dengan cara memperluas makna konsep tersebut dengan cara membandingkannya dengan suatu konsep lain yang sudah dipahami. Melalui perbandingan itu terjadi pemindahan makna dari konsep yang sudah dipahami kepada konsep abstrak.


Batasan ini biasanya diungkapkan dengan rumus “A adalah B dalam konteks X, Y, Z …” Sebagai contoh, dalam metafora “Guru adalah matahari bangsa”, fungsi ‘matahari’ sebagai pemberi ‘terang’ dan ‘kehangatan’ dipindahkan kepada ‘guru’. Pemindahan ini membuat “guru” menjadi “pemberi terang dan  kehangatan” kepada bangsa. Oleh Aristoteles, ungkapan-ungkapan linguistik yang dihasilkan dari metafora sebagai sarana berpikir itu disebut sebagai stilistika.


Menurut Ortony (1993: 3), bagi Aristoteles, fungsi utama metafora adalah sebagai stilistika atau ornamen retoris, khususnya majas. Danesi (2004: 118) menambahkan bahwa majas tersebut digunakan untu memperindah ungkapan-ungkapan dalam puisi. Dengan kata lain, Aristoteles lebih mementingkan metafora sebagai ekspresi linguistik, bukan sebagai konsep berpikir yang menghasilkan ekspresi tersebut.


Sejak dicanangkan oleh Aristoteles, metafora menjadi salah satu bidang kajian utama bidang filsafat, linguistik dan kritik sastra di Barat. Namun, menurut Punther (2007: 10-12), penekanan pada fungsi metafora sebagai ornamen retoris mengakibatkan kajian-kajian itu hanya terfokus pada upaya upaya untuk membedakan bahasa harfiah dan bahasa figuratif.


Akibatnya, selama hampir 16 abad metafora tidak dianggap sebagai bagian integral diskursus filsafat dan bahasa sehari-hari, dan pengertian metafora sebagai perbandingan antara sebuah konsep yang asing (topik) dengan suatu konsep lain yang sudah dipahami (citra) yang menghasilkan kemiripan (titik kesamaan) diantara keduanya, yang kemudian dipindahkan kepada topik sehingga pemahaman terhadapnya meningkat juga tidak mengalami perubahan secara substantif.


Teori perbandingan ini didukung oleh Larson (1998: 271-271) yang menekankan bahwa, seperti simile, metafora merupakan ungkapan figuratif yang didasarkan pada perbandingan. Dia menjelaskan bahwa metafora dan simile merupakan bentuk-bentuk gramatikal yang mewakili dua proposisi dalam struktur semantik. Sebuah proposisi terdiri sebuah topik dan penjelasan mengenai topik itu.


Dalam ungkapan “Guru adalah matahari bangsa”, “guru” merupakan topik dan “adalah matahari bangsa” merupakan penjelasan. Hubungan antara kedua proposisi tersebut merupakan sebuah perbandingan yang terdapat dalam bagian penjelasan. Penjelasan tersebut mengungkapkan kemiripan atau menunjukkan titik kesamaan tertentu. Dalam contoh di atas, bagian penjelasan  mengungkapkan kemiripan antara “guru” dan “matahari” sebagai pemberi ‘terang’ dan ‘kehangatan’.


  1. Teori Interaksi

Pemunculan konsep metafora yang berbeda dengan konsep Aristoteles diawali oleh Richards. Perbedaan itu terlihat paling tidak dalam dua poin. Pertama, Richards (1936: 90) menyatakan bahwa metafora sesuatu yang istimewa dan hanya digunakan oleh orang-orang berbakat sebagai ornamen retoris. Dengan kata lain, dia menolak pandangan bahwa metafora digunakan secara khusus hanya dalam karya sastra.


Kedua, Richards (1936: 93-96) menekankan bahwa metafora merupakan proses kognitif yang dilakukan untuk memahami suatu gagasan yang asing (vehicle) melalui interaksi gagasan tersebut dengan gagasan lain yang maknanya secara harfiah sudah lebih dikenal (tenor), bukan melalui pemindahan makna. Gagasan baru yang dihasilkan melalui interaksi vehicle dan tenor disebut ground.


Dalam “Guru adalah matahari bangsa”, misalnya, tidak terjadi pemindahan makna dari “matahari” kepada “guru”. Kedua kata itu tetap pada makna harfiah masing-masing. Namun sebagian wilayah makna kedua kata itu, seperti makna ‘mendidik’ dan ‘mengajar’ berinteraksi dengan makna ‘menerangi’ dan ‘menghangatkan’, dan menghasilkan gagasan “melalui pendidikan dan pengajaran yang dilakukannya, guru menerangi dan memberi kehangatan pada bangsa”. Secara grafis, proses kognitif yang menghasilkan metafora ini digambarkan dalam Bagan 3 di bawah ini.


Pada bagan tersebut, tampak dua lingkaran yang disatukan, masing-masing menampilkan wilayah makna “guru” dan wilayah makna “matahari”. Sebahagian dari kedua wilayah makna itu bertumpang tindih (ditampilkan oleh bagian yang diarsir), dan hal itu menunjukkan adanya sekumpulan komponen makna penyama (ground) atau makna yang sama-sama dimiliki kedua wilayah makna.


Dalam konteks metafora ini, makna penyama tersebut terdiri dari “hangat” dan “menerangi.” Meskipun wilayah makna itu menyatu, makna harfiah “guru” dan “matahari” tidak menghilang, melainkan ada di latar belakang makna metaforis. Itulah sebabnya Richard menekankan bahwa dalam metafora tidak terjadi substitusi makna melainkan interaksi makna.


Istilah vehicle yang diajukan Richard ini mirip dengan ‘topik’, istilah tenor mirip dengan “citra,” dan istilah ground mirip dengan “titik kesamaan”. Menurut Stockwell (2002: 106), dalam ungkapan stilistik posisi vehicle selalu mendahuli tenor, meskipun dalam skema proses kognitifnya tenor diletakkan sebelum vehicle. Jadi, dalam metafora “Guru adalah matahari bangsa”, “Guru” merupakan vehicle dan “matahari” merupakan tenor”. Fitur umum yang terdapat diantara keduanya, seperti ‘hangat’ dan ‘menerangi’, disebut ground.


Berdasarkan gagasan Richards, Black mengembangkan teori interaksi dengan menekankan bahwa metafora pada hakikatnya merupakan instrumen kognitif yang tidak dapat berlangsung tanpa adanya interaksi antar elemen-elemen pembentuknya, yang terdiri dari aspek konteks, situasi, pembicara/pendengar, penulis/pembaca, dan tema pertuturan. Esensi aspek-aspek kontekstual ini dapat dilihat dalam contoh-contoh berikut.

  • Ali adalah anak kecil.
  • Toto mahir berakting.

Kalimat (1) di atas merupakan metafora jika dilihat dari konteksnya bahwa Ali berumur 40 tahun. Dalam konteks ini, “Ali” dianalogikan sebagai “anak kecil’ karena memiliki sifat kekanak-kanakan. Akan tetapi, kalimat itu bukan sebuah metafora jika diketahui Ali masih berumur lima tahun. Kalimat (2) merupakan metafora jika diketahui Toto bukan seorang pemain film (aktor) namun pandai bersandiwara bagaikan seorang aktor.


Sebaliknya, kalimat  itu bukan metafora jika Toto benar-benar seorang aktor. Melalui penjelasan dan contoh-contoh tersebut, terlihat bahwa dalam teori interaksi Black kriteria pokok yang menentukan apakah sebuah tuturan merupakan metafora atau hanya sekedar pernyataan harfiah adalah konteks dan situasinya.


Jika konsep Aristoteles dibandingkan dengan  konsep Richards dan Black, akan terlihat bahwa konsep metafora Aristoteles dilandaskan pada perbandingan antara tenor (citra) dan vehicle (topik), sedangkan konsep metafora Richards dan Black didasarkan pada interaksi kedua ranah tersebut.


Namun, walau berbeda dalam hal hubungan antara tenor dan vehicle, konsep Aristoteles, Richards, dan Black sama-sama menekankan bahwa konteks yang terdapat dalam ungkapan metafora mengandung dua sisi makna: makna metaforis di satu sisi dan makna harfiah di sisi yang lainnya. Selain itu, ketiga konsep itu juga sama-sama menekankan fungsi metafora sebagai bahasa figuratif.


  1. Teori Pragmatik

Teori pragmatik merupakan penolakan terhadap konsep adanya perubahan makna pada topik karena adanya pemindahan makna dari citra, atau karena adanya interaksi vehicle dengan tenor. Dengan kata lain, teori pragmatik membantah konsep teori perbandingan dan teori interaksi. Davidson (1978: 32) mempertanyakan asumsi standar tentang keberadaan makna metaforis yang berbeda dengan makna harfiah. Menurut Davidson, metafora pada hakikatnya tidak berbeda dengan ungkapan linguistik lainnya.


Metafora mengungkapkan makna kata-kata sesuai dengan makna harfiahnya, tidak lebih dari itu. Bagi Davidson, persoalan metafora merupakan ranah pragmatik, bukan semantik. Metafora tidak membentuk makna-makna yang berbeda karena metafora tidak berkreasi; metafora merupakan kata-kata yang makna harfiahnya digunakan untuk membentuk pemahaman.


Dengan kata lain, makna sebuah metafora ditentukan oleh makna harfiah kata-kata maupun kalimat yang membentuknya, dan bagaimana makna tersebut digunakan. Jadi, metafora tidak memiliki makna khusus. Metafora adalah penggunaan ungkapan harfiah untuk menyarankan, mengakrabkan, atau mengarahkan penutur kepada makna yang mungkin diabaikannya.


Sama dengan Davidson, Searle (1981: 76-103) juga menolak konsep perubahan makna pada topik karena adanya pemindahan makna dari citra, atau karena adanya interaksi vehicle dengan tenor. Menurut Searle, di dalam metafora sama sekali tidak ada perubahan makna. Searle mengakui bahwa makna ungkapan metaforis berbeda dengan makna harfiah kata-kata atau kalimat penyusunnya.


Namun hal itu tidak disebabkan oleh perubahan makna elemen-elemen leksikal, melainkan karena penutur bermaksud mengungkapkan makna yang lain melalui kata-kata atau kalimat tersebut. Hal ini, secara sederhana, diungkapkan dengan rumusan bahwa penutur mengatakan “S adalah P”, padahal yang dimaksudkannya adalah “S adalah R”.


Sehubungan dengan itu, Searle mengusulkan bahwa untuk menjelaskan metafora perlu dibedakan antara makna harfiah kata-kata atau kalimat dengan makna yang disampaikan penutur (makna metaforis yang ingin diungkapkan melalui makna harfiah kata-kata atau kalimat yang digunakan).


Sumbangan utama teori pragmatik terhadap konsep metafora adalah pemahaman bahwa proses pembentukan makna metaforis tidak hanya ditentukan oleh pemindahan makna dari citra ke topik atau oleh interaksi antara kedua ranah tersebut. Makna metaforis itu juga dibentuk oleh hubungan internal elemen-elemen kontekstual tuturan tersebut, termasuk makna yang disampaikan penutur.


  1. Teori Kognitif

Wilayah kajian metafora yang dulu cenderung mengacu pada ungkapan figuratif mulai berubah sejak Lakoff dan Johnson menerbitkan Metaphors We Live By pada tahun 1980. Dalam buku ini mereka menegaskan bahwa metafora tidak hanya digunakan dalam karya sastra tetapi dalam kehidupan sehari-hari. Menurut mereka, “metaphors are pervasive in our ordinary everyday way of thinking, speaking, and acting.” Pendapat ini merupakan penolakan mereka terhadap pendapat umum dalam linguistik konvensional bahwa ungkapan metaforis merupakan alternatif bagi pertuturan harfiah.


Danesi (2004: 120), menjelaskan bahwa secara khusus mereka menentang asumsi Grice bahwa seseorang akan mencoba mendahulukan interpretasi harfiah jika dia mendengar sebuah kalimat. Jika konteks kalimat tersebut tidak memungkinkan baginya untuk memperoleh pemahaman, barulah dia mencoba interpretasi metaforis. Menurut Lakoff dan Johnson, asumsi ini terkesan benar hanya karena pengguna bahasa tidak menyadari bahwa banyak ungkapan-ungkapan yang biasa mereka gunakan sebenarnya didasarkan pada struktur metaforis.


Sebagai contoh, kalimat yang lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari, seperti: “Pendapatmu tidak dapat dipertahankan”, “Aku berhasil menghancurkan argumentasinya” dan “Dia selalu menang dalam perdebatan”, sebenarnya merupakan variasi metafora linguistik yang dibentuk berdasarkan metafora konseptual ARGUMEN MERUPAKAN PERANG, seperti terlihat dari uraian yang diadopsi dari penjelasan Lakoff dan Johnson berikut.


Selain itu, berbagai kalimat sering diinterpretasikan secara metaforis tanpa memperhatikan makna sebenarnya. Sebagai contoh, kalimat “Pembunuhnya adalah binatang” cenderung diinterpretasikan secara metaforis. Biasanya, setelah dijelaskan bahwa kata “binatang” dalam kalimat itu adalah hewan sesungguhnya (singa, beruang, dan sebagainya), barulah pendengar menginterpretasikannya secara harfiah.


Menurut Ortony (1993: 208-209), prinsip utama dalam teori kongnitif Lakoff dan Johnson adalah bahwa metafora berlangsung dalam tataran proses berpikir. Metafora menghubungkan dua ranah konseptual, yang disebut ranah sumber (source domain) dan ranah sasaran (target domain).


Ranah sumber terdiri dari sekumpulan entitas, atribut atau proses yang terhubung secara harfiah, dan secara semantis terhubung dan tersimpan dalam pikiran. Hal-hal itu diungkapkan dalam pertuturan melalui seperangkat kata atau ungkapan yang dianggap terhimpun dalam kelompok-kelompok yang serupa dengan kumpulan tersebut—yang sering disebut oleh linguis sebagai ‘kelompok leksikal’ (lexical sets) atau ‘bidang-bidang leksikal’ (lexical fields).


Ranah sasaran cenderung bersifat lebih abstrak dan mengikuti struktur yang dimiliki ranah sumber melalui pemetaan ontologis. Pemetaan inilah yang disebut  metafora konseptual. Oleh karena itu, entitas, atribut, dan proses dalam ranah sasaran diyakini berhubungan satu sama lain seperti pola yang dipetakan dari hubungan antara entitas, atribut, dan proses dalam ranah sumber.


Pada tataran bahasa, seluruh. entitas, atribut, dan proses dalam ranah sasaran dileksikalkan melalui kata-kata dan ungkapan dari ranah sumber. Kata-kata atau ungkapan inilah yang disebut dengan metafora linguistik.


Senada dengan penjelasan Ortony tentang teori Lakoff dan Johnson di atas, Kovecses (2010: 4) juga menyatakan bahwa metafora konseptual berada pada tataran proses berpikir, yang digunakan untuk memahami suatu ranah konseptual dengan cara mengaitkannya dengan suatu ranah konseptual lain. Pendapat ini dirumuskan (dengan hurup kapital) sebagai berikut: RANAH KONSEPTUAL A ADALAH RANAH KONSEPTUAL.


Sedangkan metafora linguistik adalah berbagai ungkapan linguistik yang dihasilkan dari sebuah metafora konseptual. Berdasarkan rumusan ini, sebagai contoh, untuk konsep DUNIA dapat dibentuk metafora konseptual DUNIA ADALAH PANGGUNG SANDIWARA.


Dalam konteks ini pemahaman tentang sandiwara digunakan untuk memahami kehidupan. Dari metafora konseptual DUNIA ADALAH PANGGUNG SANDIWARA dapat dibentuk berbagai metafora linguistik, seperti: “Pertolongan yang diberikannya hanyalah sandiwara”; “Para anggota parlemen itu hanyalah badut-badut politik”; “Kehidupan pernikahannya tak lebih dari sinetron belaka”; dan sebagainya.


Bagi pendukung teori kongnitif, pikiran dianggap lebih penting dari bahasa. Teori kongnitif tidak dimaksudkan untuk menjelaskan ungkapan-ungkapan bahasa yang digunakan, yang dianggap hanya sebagai manifestasi permukaan dari fenomena yang jauh lebih penting.


Meskipun demikian, pola-pola ungkapan bahasa merupakan data yang digunakan sebagai bukti utama untuk menyajikan teori ini. Data-data linguistik tersebut biasanya dihasilkan secara intuitif, baik oleh peneliti maupun informan. Namun selama beberapa tahun terakhir beberapa peneliti mulai menganalisis data linguistik yang diperoleh secara alami.


Berdasarkan berbagai teori dan definisi yang cukup beragam tersebut, terlihat bahwa pengertian metafora relatif sama sejak zaman Aristoteles. Meskipun dinyatakan melalui ungkapan-ungkapan yang cukup variatif, definisi-definisi itu tetap bermuara kepada dua tataran, yakni: metafora konseptual dan metafora linguistik.


Metafora konseptual merupakan proses pemindahan sebuah konsep yang dikenal kepada konsep lain yang masih asing agar konsep yang asing itu dapat dipahami. Pemindahan konsep itu bisa melalui perbandingan, interaksi, atau pemetaan. Metafora linguistik merupakan ekspresi linguistik yang diperoleh dari sebuah metafora konseptual.


Perbedaan yang terdapat dalam berbagai definisi dan teori metafora di atas terletak pada penekanan esensi dan fungsi kedua jenis metafora tersebut. Bagi Aristoteles, metafora linguistik lebih penting dari metafora konseptual dan sangat diperlukan sebagai bahasa figuratif (majas) dalam puisi dan kajian sastra.  Bagi Lakoff dan Johnson, metafora yang paling esensial adalah metafora konseptual, dengan alasan bahwa  metafora linguistik merupakan manifestasi linguistis dari metafora konseptual (sebagai sistem berpikir yang terlibat dalam kehidupan sehari-hari manusia).


Krennmayr (2011: 11) menegaskan bahwa berbeda dengan pandangan filsuf dan linguis terdahulu, yang memandang bahasa terpisah dari pikiran, linguis kontemporer sejak pemunculan linguistik kognitif memandang bahasa berinteraksi dengan persepsi, memori, dan pikiran.


Karena dilandaskan pada perbandingan antara sebuah benda, ide, atau tindakan dengan sebuah benda, ide, atau tindakan lain, metafora juga mencakup personifikasi, karena personifikasi juga didasarkan pada perbandingan benda atau binatang dengan manusia. Dalam personifikasi “Nyiur melambai-lambai” terdapat perbandingan antara gerakan daun nyiur dengan gerakan tangan manusia.


Perbandingan itu menghasilkan titik kesamaan berupa “gerakan gemulai dari kanan ke kiri atau sebaliknya”. Jadi, proses pembuatan personifikasi sama dengan metafora. Mendukung konsep ini, Alm-Arvius (2003: 129) menegaskan bahwa personifikasi merupakan sub-kategori metafora yang bersifat lebih umum dan komprehensif.


Dengan kata lain, metafora merupakan atasan personifikasi, dan personifikasi merupakan subordinat metafora. Penjelasan Alm-Arvius ini menjelaskan bahwa perbedaan di antara metafora dan personifikasi terletak hanya pada ruang lingkup. Metafora membandingkan semua benda ide, atau tindakan dengan sebuah benda, ide, atau tindakan lain, sedangkan personifikasi khusus menampilkan benda atau hewan sebagai manusia.


Komponen Metafora

Berdasarkan paparan di atas, terungkap bahwa struktur sebuah metafora dapat dibagi ke dalam tiga komponen: (1) konsep atau hal yang dibicarakan agar lebih dipahami (topik atau vehicle); (2) konsep yang sudah dipahami (citra atau tenor); dan (3) makna atau kualitas yang memperlihatkan persamaan antara citra dan topik (ground atau “titik kesamaan”). Dengan demikian, dalam contoh “Guru adalah matahari bangsa” di atas, “Guru” merupakan ‘topik”, “matahari” merupakan “citra”, dan “menerangi” dan “menghangatkan” merupakan “titik kesamaan”.


Ketiga komponen pembangun metafora tidak selalu disebutkan secara eksplisit. Adakalanya, salah satu dari ketiga bagian itu (topik, sebagian dari citra, atau titik kemiripan) dinyatakan secara implisit. Sehubungan dengan itu, Orrecchioni (dalam Zaimar, 2002: 48-49) membedakan metafora ke dalam dua jenis: metafora in praesentia, yang bersifat eksplisit dan metafora in absentia, yang bersifat implisit.


Dalam metafora “Tono adalah buaya darat”, misalnya, kedua unsur yang dibandingkan muncul–“Tono”  sebagai vehicle dan “buaya darat” sebagai tenor). Sedangkan dalam metafora “Banyak pemuda yang ingin mempersunting mawar desa itu”, kata mawar dibandingkan secara in absentia dengan gadis.


Dalam konteks ini, “mawar” sebagai citra muncul, sedangkan “gadis” sebagai topik tidak muncul. Dengan demikian, terjadi perbandingan implisit. Untuk mengetahui titik kemiripan dalam metafora seperti ini, diperlukan pengetahuan tentang konteks tempat metafora tersebut digunakan, pemahaman terhadap makna ‘mawar’ dalam masyarakat penutur, dan unsur implisit lainnya.


Prosedur Mengidentifikasi Metafora

Pemahaman atas definisi, komponen, dan tipe metafora belum menjamin kemampuan mengidentifikasi keberadaan majas ini dalam wacana, apalagi bila wacana yang dianalisis merupakan korpus yang besar. Krennmayr (2011: 15-16) menegaskan bahwa pendekatan “I-know-it-when-I-see-it” atau intuitif tidak bisa diharapkan untuk menghasilkan identifikasi metafora yang akurat.


Oleh karena itu, dibutuhkan suatu prosedur yang terukur. Untuk menjawab kebuutuhan ini, kelompok Pragglejaz menyusun Metaphor Identification Procedure (MIP), yang dirancang secara khusus bagi para peneliti untuk mengenali metafora dalam bahasa lisan dan tulisan.


Prosedur ini bertujuan untuk menentukan apakah unit leksikal tertentu dalam wacana berperan sebagai metafora dengan melihat hubungan unit leksikal tersebut dalam wacana. Karena banyak kata yang berfungsi sebagai metafora dalam konteks yang berbeda, untuk menerapkan MIP diperlukan kemampuan untuk membedakan kata-kata yang menyampaikan makna metaforis dan yang tidak.


Secara terperinci, kelompok Pragglejaz (2007) merumuskan MIP sebagai berikut:

  1. Baca wacana secara menyeluruh untuk membangun pemahaman umum tentang maknanya.
  1. Tentukan unit leksikal dalam wacana:

(a) Untuk setiap unit leksikal dalam teks, lihat maknanya dalam konteks, yaitu, bagaimana makna itu berlaku sebagai suatu entitas, relasi, atau atribut dalam situasi yang ditimbulkan oleh teks (makna kontekstual). Perhitungkan apa yang datang sebelum dan setelah unit leksikal.(b) Untuk setiap unit leksikal, tentukan apakah unit itu memiliki makna kontemporer yang lebih mendasar dalam konteks lain daripada dalam konteks tersebut.


Dalam identifikasi metafora ini, makna dasar cenderung: (i) lebih nyata (apa yang diungkapkan lebih mudah dibayangkan, dilihat, didengar, diraba, dicium, dan dirasakan); (ii) terkait dengan tindakan fisik; (iii) Lebih tepat (tidak samar-samar); dan (iv) secara historis lebih tua.Makna dasar harus merupakan makna yang paling sering muncul dari unit leksikal tersebut.


(c) Jika unit leksikal memiliki makna kontemporer yang lebih mendasar dalam konteks lain dibandingkan dengan konteks yang ada, periksa apakah makna kontekstual berbeda dengan makna dasar tetapi dapat dimengerti melalui perbandingan dengan makna dasar tersebut.


Jika ya, tandai unit leksikal tersebut sebagai metafora.

Untuk membantu pemahaman terhadap MIP, kelompok Pragglejaz menyajikan kalimat pertama sebuah artikel berjudul “Sonia Gandhi stakes claim for top job with denunciation of Vajpayee” sebagai contoh. Kalimat tersebut berbunyi:


“For years, Sonia Gandhi has struggled to convince Indians that she is fit to wear the mantle of the political dynasty into which she married, let alone to become premier.” Berdasarkan pembacaan menyeluruh atas wacana tersebut (langkah 1) dipahami bahwa artikel itu membahas politik kontemporer di India, khususnya kontroversi mengenai peran Sonia Ghandi sebagai politisi.


Pada langkah ke-2, unit-unit leksikal kalimat tersebut diidentifikasi sebagai berikut:  / For / years /, Sonia Gandhi / has / struggled / to / convince / Indians / that / she / is / fit / to /wear/ the / mantle / of / the / political / dynasty / into / which / she / married / let alone / to / become / premier /.


Selanjutnya, makna setiap unit leksikal diperiksa secara berurutan. Sebagai contoh, makna kontekstual preposisi “for” mengungkapkan durasi sebuah periode waktu. Makna dasar “for” bisa menyatakan pengenalan terhadap penerima suatu tindakan, seperti dalam kalimat “I’ve brought a cup of tea for you.”


Inilah makna utama “for” yang disajikan dalam kamus. Makna kontekstual yang ditemukan di atas berbeda dengan makna dasar. Namun makna kontekstual tidak bisa dipahami melalui perbandingan dengan makna dasar tersebut.  Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa preposisi “for” bukanlah sebuah metafora (langkah ke-4).


Hal yang sama ditemukan pada kata “years’, ‘Sonia Gandhi” dan “has’. Ketiganya bukan merupakan metafora. Namun hasil berbeda ditemukan pada kata “struggled”. Dalam wacana ini, kata “struggled” mengindikasikan upaya, kesulitan, dan kendala dalam mencapai suatu tujuan, yaitu merubah pandangan dan sikap negatif orang lain.


Penelusuran di kamus mengungkapkan bahwa makna dasar verba “struggled” adalah ‘menggunakan kekuatan fisik terhadap sesuatu atau seseorang. Terlihat bahwa makna kontekstual berbeda dengan makna dasar, dan makna kontekstual tersebut dapat dipahami melalui perbandingannya dengan makna dasar. Makna berbentuk upaya, kesulitan, perlawanan dan konflik psikis dapat dipahami melalui makna berbentuk upaya, kesulitan, perlawanan dan konflik fisik. Dengan demikian, kata “struggled” dalam wacana ini merupakan metafora.


Melalui penerapan MIP pada kalimat di atas, ditemukan bahwa enam dari seluruh 27 unit leksikal yang ada merupakan metafora, yakni :

“struggled”, “fit”, “wear”, “mantle”, “dynasty” dan “into”.


Jenis-Jenis Metafora

Metafora dapat diklasifikasikan dalam berbagai kelompok sesuai dengan banyaknya sudut pandang dan kriteria yang bisa digunakan sebagai landasan. Dalam paparan ini, yang diuraikan hanyalah klasifikasi yang banyak diacu oleh bidang sastra dan penerjemahan.


  • Klasifikasi Berdasarkan Unsur Fungsional Sintaksis

Ditinjau dari segi sintaksis, Wahab (1995: 72) membagi metafora ke dalam tiga kelompok, yaitu metafora nominatif, metafora predikatif, dan metafora kalimatif. Metafora nominatif merupakan metafora yang makna kiasnya terdapat pada nomina kalimat, sedangkan komponen-komponen lain hanya menyatakan makna langsung. Karena nomina bisa berposisi sebagai subjek dan objek dalam kalimat, metafora ini dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu metafora subjektif dan metafora objektif.


Dalam metafora subjektif, yang juga disebut sebagai metafora nominatif, makna kias hanya muncul pada subjek saja. Sebagai contoh, dalam ungkapan “Badai derita tak henti melanda”, subjek “badai derita” mengaitkan ‘badai’ dengan sesuatu yang abstrak, yaiutu ‘derita’. Subjek ini merupakan metafora, sedangkan komponen lainnya, yaitu “tak henti melanda” mengungkapkan makna literal.


Dalam metafora objektif, yang juga disebut sebagai metafora komplementatif, makna kias hanya muncul pada objek saja. Dalam ungkapan “Wajahnya diselimuti mendung kelabu”, misalnya, kelompok kata “diselimuti mendung kelabu” berfungsi sebagai komplemen dan mengungkapkan makna kias, yang berarti “kemuraman atau kesedihan.”


Dalam metafora predikatif, makna kias hanya terdapat pada predikat kalimat saja, sedangkan subjek dan komponen lain dalam kalimat itu (jika ada) menyatakan makna literal. Sebagai contoh, dalam ungkapan “Sumpah serapah mengalir dari mulutnya”, kata “mengalir” merupakan predikasi yang cocok untuk air. Namun dalam konteks kalimat ini, kata itu merupakan metafora yang menekankan bahwa orang dimaksud tak henti-hentinya mengucapkan sumpah serapah.


Dalam metafora kalimatif, seluruh lambang kias yang dipakai tidak terbatas pada nomina (baik yang berlaku sebagai subjek maupun yang berlaku sebagai komplemen) dan predikat saja, melainkan pada seluruh komponen dalam kalimat metaforis itu, seperti dalam “Fajar kemerdekaan akan mengusir kelam derita.”


  • Klasifikasi Larson

Larson (1998: 274-275) membedakan metafora ke dalam dua kelompok: metafora mati (dead metaphor) dan metafora hidup (live metaphor). Metafora mati merupakan bagian dari konstruksi idiomatis dalam leksikon sebuah bahasa. Ketika sebuah metafora mati digunakan, pendengar atau pembaca tidak memikirkan makna literal kata-kata pembentuknya, tetapi langsung memikirkan makna idiomatik ungkapan tersebut secara langsung. Sebagai contoh, ketika mendengar metafora berbentuk idiom ‘kaki meja’, pendengar tidak perlu memikirkan makna kata “kaki” dan “meja” secara terpisah untuk memahami metafora tersebut.


Ungkapan ini sudah digunakan terus-menerus dalam bahasa Indonesia hingga penutur tidak perlu berpikir tentang perbandingan anatara kata “kaki” dan “meja”. Dalam bahasa Inggris, terdapat banyak idiom seperti “run into debt”, “foot of the stairs”, dan “the head of state”. Ungkapan-ungkapan ini merupakan metafora karena penutur bahasa Inggris dapat langsung memahami maknanya tanpa harus berpikir tentang perbandingan antara kata-kata penyusunnya.


Metafora mati disebut “mati” karena eksistensinya sebagai metafora hampir tidak disadari oleh penutur. Ungkapan yang termasuk dalam metafora mati cenderung tidak lagi dianggap sebagai metafora tetapi sebagai kata-kata sederhana dengan makna fungsional sederhana.


Kecenderungan ini merupakan salah satu pendorong berkembangnya bahasa.  Penutur mencoba untuk menjelaskan sesuatu dengan membuat sebuah ungkapan yang memunculkan citra yang tidak lazim, dan akhirnya ungkapan itu menjadi standar sedangkan citra aslinya yang hilang atau berevolusi.


Metafora hidup adalah metafora yang dibentuk oleh penulis atau pembicara pada saat dia ingin menjelaskan sesuatu yang kurang dikenal dengan membandingkannya kepada sesuatu yang sudah dipahami. Berbeda dengan metafora mati yang sudah lama digunakan sehingga kesan metaforisnya tidak begitu menonjol, kesan metaforis metafora hidup terasa sangat kental setelah perbandingan antar dua hal dalam ungkapan tersebut dipahami dengan baik.


Metafora hidup sering digunakan untuk menarik minat pembaca atau pendengar, karena jika ungkapan yang didengar atau dibaca tidak sesuai dengan pola makna yang biasa, seorang pendengar atau pembaca akan dipaksa untuk berpikir keras tentang makna ungkapan tersebut, penggunaannya, dan tujuan pembicara atau penulis menggunakannya. Kata kata bercetak-miring dalam kalimat berikut adalah beberapa contoh metafora hidup.

  • Banyak partai politik yang ada saat ini hanya berfungsi sebagai perahu pemimpinnya untuk memuaskan syahwat politik mereka menjadi presiden.
  • Pemimpin sekarang perlu menjadikan korupsi musuh utama.

  • Klasifikasi Newmark

Newmark (1998: 106) mengklasifikasikan metafora ke dalam enam jenis: metafora mati (dead metaphor), metafora klise (cliché metaphor), metafora standar (standard or stock metaphor), metafora kontemporer (recent metaphor), metafora orisinal (original metaphor), dan metafora saduran (adapted metaphor). Masing-masing metafora tersebut diuraikan pada bagian berikut.


Metafora mati merupakan metafora yang eksistensinya sebagai metafora hampir tidak disadari oleh penutur. Metafora jenis ini biasanya menggunakan kata-kata yang universal mengenai ruang, waktu, ide, bagian-bagian tubuh, unsur-unsur ekologi, dan aktivitas-aktivitas utama manusia, seperti puncak, dasar, kaki, mulut, warna, dan sebagainya.


Beberapa contoh metafora mati adalah: “kaki gunung”, “mulut sungai”, dan “puncak karir”. Menurut Newmark, metafora mati banyak digunakan untuk memperjelas atau mendefinisikan konsep dan bahasa ilmiah, seperti “landasan teori” dan “dari lubuk hati yang terdalam”. Kutipan dari puisi Rendra (dalam McGlynn, 1990: 70) berikut adalah satu contoh lain metafora mati: “di perut kota New York.”


Metafora klise merupakan metafora yang digunakan oleh penutur secara otomatis. Karena sudah sering digunakan, kesan metaforisnya tidak begitu kental. Menurut Newmark, metafora ini biasa digunakan untuk menggantikan ungkapan (khususnya yang bersifat emosional) yang secara harfiah sudah jelas namun kaitannya dengan inti permasalahan tidak ada.


Newmark memberikan kalimat “The country school will in effect become not a backwater but a breakthrough” sebagai contoh metafora klise. Kata backwater secara harfiah mengacu pada “bagian sungai yang airnya mengalir perlahan-lahan”, namun dalam konteks kalimat di atas, kata ini mengacu pada sebuah “tempat yang tenang”. Kata breakthrough pada awalnya bermakna “sebuah dorongan penyerangan yang menembus dan melampaui garis pertahanan lawan dalam peperangan.” Tapi, dalam konteks kalimat di atas, kata ini  bermakna “terobosan”.


Metafora standar merupakan metafora yang sudah mapan dan digunakan secara efektif dalam komunikasi informal untuk mengungkapkan situasi mental atau fisik. Newmark menambahkan bahwa metafora jenis ini memiliki kehangatan emosional dan tidak “mati” walaupun sering digunakan. Beberapa contoh metafora standar adalah: “muka tembok”, “Biarkan ketel itu tetap mendidih”, “secercah sinar harapan”.


Metafora kontemporer merupakan metafora berbentuk neologisme (ungkapan bentukan baru, atau kata lama yang dipakai dengan makna baru) namun penggunaannya sudah meluas bahkan di dalam bahasa-bahasa lain. Beberapa contoh metafora jenis ini adalah:


“walkman”, yang dibentuk dari kata lama “walk” dan “man” namun dalam pengertian baru mengacu pada “alat pemutar kaset yang bisa dibawa-bawa (portable casette player)”; “software”, dibentuk dari kata lama “soft” dan “ware” namun dalam pengertian baru mengacu pada perangkat pemrograman dalam komputer; dan “head-hunting”, yang mengacu pada “proses rekrutmen sumber daya manusia”.


Jika digunakan untuk mengungkapkan obyek atau proses yang masih baru, metafora kontemporer identik dengan metonimi (majas yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain karena mempunyai pertalian yang sangat dekat, seperti pertalian antara penemu dengan temuannya, pemilik dengan barang yang dimiliki, akibat dengan sebab, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya).


Sebagai contoh, dalam ungkapan “Mingguan itu banyak memuat gosip”, kata “mingguan” yang pada awalnya berarti sesuatu yang terjadi seminggu sekali dihubungkan dengan surat kabar sehingga membentuk makna baru: “surat kabar yang terbit sekali seminggu.”


Metafora orisinal merupakan metafora yang mengandung inti pesan, kepribadian dan pandangan seorang penulis. Metafora orisinal biasanya merupakan metafora puitis yang diciptakan untuk mengungkapkan sesuatu yang spesifik pada sebuah peristiwa.


Sebagai contoh, kesan yang ditangkapnya setelah menyaksikan berbagai bantuan kemanusiaan bagi para korban tsunami di Asia awal tahun 2005, Presiden World Vision, Stearns menyatakan: “This tidal wave of generosity will help them rebuild…”  Dalam ungkapan ini, “tidal wave” yang biasanya mengacu pada bencana alam digunakan untuk mengungkapkan kebaikan.


Kutipan dari puisiTaufik Ismail  (dalam McGlynn, 1990: 70) berikut adalah contoh lain metafora orisinal: “Bukit-bukit yang ditumbuhi rumah-rumah Eropa, Meksiko, Habsyi dan Cina, …” Sebagai hasil kreativitas, metafora orisinal tidak berhubungan erat dengan konvensi-konvensi budaya dan linguistik. Oleh karena itu, faktor paling krusial dalam upaya memahaminya adalah konteks.


Metafora saduran, menurut Dickins (2005: 237), adalah metafora yang diadaptasi (dengan cara membuat perubahan) dari sebuah metafora kontemporer. Contoh yang diberikan Newmark (1998: 108) untuk metafora saduran adalah ungkapan “the ball is a little in their court”, yang diadaptasi dari idiom metaforis kontemporer “the ball is in their court”.


Klasifikasi Wahab, yang membedakan metafora ke dalam metafora nominatif, metafora predikatif, dan metafora kalimatif, di atas menegaskan bahwa unsur ungkapan yang membentuk metafora bisa berbentuk sebuah kata, frasa, klausa maupun kalimat. Sebuah metafora bisa berwujud subjek, objek, prediket, atau mencakup seluruh komponen sebuah kalimat. Klasifikasi Larson dilandaskan pada sadar atau tidaknya penutur akan eksistensi ungkapan metaforis tersebut sebagai metafora.


Kriteria ini diikuti oleh Newmark ketika membedakan metafora mati dan metafora kontemporer. Akan tetapi, selain kriteria tersebut, Newmark juga menggunakan kriteria rentang waktu penggunaan ketika membedakan metafora klise dan metafora kontemporer dan kriteria keberadaan dan ketiadaan kreativitas penulis atau pembicara ketika membedakan metafora orisinal dan metafora saduran.


Dengan demikian, meskipun klasifikasi Newmark terkesan lebih terperinci, hal itu didasarkan pada kriteria yang multidimensional sehingga kriteria-kriteria yang membedakan ke enam jenis metafora tersebut tidak begitu tegas. Bahkan, Newmark sendiri mengakui kriteria metafora klise tumpang tindih dengan metafora standar (1998: 108).


Demikian Penjelasan Materi Tentang Metafora adalah: Pengertian, Teori, Komponen dan Jenis
Semoga Materinya Bermanfaat Bagi Siswa-Siswi

The post Metafora adalah first appeared on PAKDOSEN.CO.ID.

ARTIKEL PILIHAN PEMBACA :
Memuat...

Jika Anda sudah membaca kalimat ini, maka Anda sudah sampai dibagian akhir pembahasan tentang Uraian: Metafora adalah (Lengkap). Semoga saja uraian kami diatas dapat menjawab rasa penasaran Anda dan menambah wawasan untuk kita semua. Tak lupa kami sampaikan banyak terima kasih sudah berkunjung ke situs uraian lengkap ini. Sampai jumpa di postingan selanjutnya.

Comments

Popular posts from this blog

Uraian: Billboard adalah (Lengkap)

Uraian: Cara Download Video Youtube (Lengkap)

Uraian: Discussion Text (Lengkap)